Rabu, 04 Maret 2015

Sarung Tangan Kenangan

Bismillah.

Saat membuka loker kecil lemariku, disana kutemukan sebuah sarung tangan yang pernah ku jahit lagi dengan tanganku sendiri. Oh, indah sekali kisahmu, temani aku diwaktu ku yang istimewa, lalu menjaga tanganku daripada menyentuh/disentuh yang bukan mahramku. Terima kasih. arigato. syukran.. J
Sehari menjelang wisudaku. Hari itu aku semakin khawatir karena belum juga menemukan toko yang menjual sarung tangan putih yang bisa kupakai saat penyematan cincin hadiah dari Universitas, lalu untuk dapat bersalaman dengan Pak Rektor, dan siapa pun yang akan menyerahkan ijazah juga memindahkan kuncirku. Akhirnya, sangat bahagia diriku ketika sebuah toko tak jauh dari tempatku tinggal menjual apa yang ku cari. Namun, ternyata yang dijual benar-benar kebesaran di jari-jari tanganku. Alhasil, karena siang itu keluargaku datang dari desa dan juga sorenya kami pergi hingga malam untuk menikmati kota Darussalam meski sesaat saja. Allah, selama perjalanan tetap aku memikirkan sarung tangan. Gimana besok kalo gak ada sarung tangan, benar-benar takut aku rusak keberkahan wisudaku yang sudah lama ku nanti. Akhirnya, dapatlah ide malam itu untuk menjahit dan menggunting sarung tanganku. Allah, sungguh bahagia.
Ketika mungkin diantara teman-temanku sibuk mencari salon untuk make up atau berhias atau memasang sanggul atau jilbab yang dikreasi. Tapi sehari menjelang wisuda justru aku gunakan untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga tercinta yang sudah lama sekali tak pernah aku rasakan. Allah, sungguh indah. Hingga saat malam ketika telah sampai dari pergi bersama mereka, aku justru disibukkan dengan menjahit sarung tanganku. Bukan sibuk mau pergi subuh-subuh ke salon. J
Alhamdulillah fikirku. Ibu tak menuntutku untuk ber make up atau berhias seperti orang lain. Thanks mom.
Paginya pun, masih bisa menikmati tahajud dan membaca Al-Qur’an, juga tak terburu-buru sholat subuh, bahkan masih bisa dhuha sebelum pergi. Allah, sungguh terima kasih atas nikmat itu. Wisuda, dengan tetap mengutamakan hal-hal kecil yang selama ini kita jaga supaya Allah tetap memberikan keberkahannya sungguh lebih nikmat teman... sangat indah dan merasa besyukur atas itu. Tetap menjaga kesyarian jilbab, tetap tidak tabbaruj, tetap menjaga jabat tangan dengan rektor sekali pun, tetap terjaga ibadah. Lalu benar selalu apa yang disebutkan Allah berulang-ulang pada surah Ar-Rahman, “maka nikmat Tuhanmu manakan yang kamu dustakan?”.

semoga membuat kita terus berfikir untuk terus menjaga komitmen yang telah dijaga...
semoga menginspirasi buat yang mau wisuda.. 

wisdom_one

“Seperti Lebah yang apa yang ada pada dirinya bermanfaat”
“seperti itu pula aku ingin”

Sayang rasanya saat mendapatkan ilmu sedikit
Tapi tak ku biarkan ilmu itu bertambah
Itulah mengapa aku berbagi, semoga yg sedikit itu
Membuat Allah ridho lalu menambahnya lagi..
beginilah alasanku berbagi

Pasti kita semua sangat familiar dengan kata “Hikmah” atau “wisdom” in English. Ya, aku tertarik dengan kata itu beberapa waktu ini. sebuah kata yang sederhana namun sarat akan makna.
“the ability to use your knowledge and experience to make good decisions and judgements”- kemampuan menggunakan pengetahuan dan pengalamanmu untuk membuat keputusan dan penilaian yang baik, yaa seperti itulah definisi wisdom saat ku buka kamus cambridge di destopku.  Lalu apa hikmah menurut bahasa kita?? Ahh, rupanya aku belum sampai sana punya referensi, namun aku ingat seorang ustad mengungkapkan pengertian hikman pada sebuah forum. Hikmah adalah sesuatu yang kamu dapatkan setelah sesuatu hal yang baik atau buruk terjadi. Artinya, sudah terjadi dulu “hal” itu baru ada yang namanya “hikmah”. Lalu ada sebuah atsar dari abu Burdah yang tercatat dalam buku catatan berwarna hijau milikku... begini bunyinya :
“Hikmah adalah barang hilang setiap muslim. Hendaknya mereka memungutnya dimanapun mereka menemukannya”
Rupanya kata itu benar-benar indah maknanya meski mungkin tak seindah bagaimana kita mendapatkannya. Itu baru awal, mengapa? Karena aku ingin kita sama-sama belajar untuk memetik hikmah dari setiap perjalanan hidup kita. Ah, puitis sekali rasanya.
Aku punya cerita,
Ketika itu, tepatnya saat aku mengikuti sebuah tes di sebuah sekolah islam di kota Darussalam waktu lalu, aku mendapati beberapa soal yang sangat menarik perhatianku, mungkin kalian juga pernah merasakan yang sama atau punya pengalaman yang sama. Baiklah, begini kurang lebih dua pertanyaan yang masih melekan tajam di ingatan.
“Siapakah orang pertama yang mengajarkanmu Al-Qur’an?”
Lalu dibawah pertanyaan itu diberi beberapa jawaban kemungkinan yang memang terjadi, seperti ini contohnya :
a.       Ibu                         c. kakek                                e. guru ngaji
b.      AyAh                     d. nenek              f. Guru di sekolah dst
Kalo kamu yang ditanya jawabnya apa??
Aku tebak, guru ngaji ya??
Atau ibu? ayah? Oh, bersyukurlah.... alhamdulillah, karena kita bisa mengaji lantaran mereka.
                Bagaimana dengan pertanyaan satu ini...
“dimana pertama kali kamu belajar sholat?”
a.       Di rumah                                                              c. di mushola/masjid dst
b.      Di sekolah / madrasah / pesantren
Emm.. aku tau, pasti jawabanmu “b” ya...?? sama kalo gitu. Mari bersyukur “Alhamdulillah”. Dimana pun kita belajar pertama kali, itu membuat kita bisa sholat sekarang. ^_^
                Aku tau kalian sangat cerdas, pasti sampai disitu sudah bisa mengambil pelajaran bukan?? Ya, sedikit pelajaran yang ingin aku bagi.
Pertanyaan itu tak  hanya menarik buat aku tapi juga setelah itu membuat ku berfikir dan sedikit merasa sedih. Kenapa bukan Ibu atau ayah ku yang mengajarkan ku pertama kali mengenal huruf-huruf al-quran? Lalu mengapa bukan rumah tempatku pertama kali belajar sholat? Fikiran ku melayang kesana, namun Demi Allah, tidaklah aku ingin mengajak kalian lalu marah kepada keluarga kita, sungguh tidak benar. Semoga aku, dan kita semua selalu berhusnuzon kepada mereka. Bisa jadi, mereka bisa mengajarkannya pertama kali kepada kita, namun mereka ingin kita mendapatkan penyampaian dan pelajaran yang lebih baik daripada jika mereka yang mengajarkan. Bisa jadi, mereka pernah ajarkan tapi kita masih kecil dan lupa. Ya kan? Dan teruslah berfikir positif tentang itu.
Disini, Aku hanya ingin mengajak kita berfikir, jikalah kita sangat menginginkan orang tua kita sebagai guru utama yang mengajarkan kita Al-Qur’an, mengenalkan kita dengan Allah, Rasulullah, dan islam. Kemudian, kita sangat merindukan suasana rumah yang seperti madrasah atau pesantren atau sekolah yang disana kita dapatkan banyak pengetahuan. Maka mungkin kita sendiri yang harus memulainya dari diri kita sendiri. Dari diri kita masing-masing. Tak guna menyesali yang telah berlalu, namun bagamana kita bisa memperbaikinya. Supaya nanti kita menjadi Ibu yang terbaik untuk anak-anak kita, mampu menjadikan rumah kita sebagai madrasah yang baik untuk anak-anak kita. Lalu, saya juga berfikir bagaimana jika kita sudah hampir menikah?? Juga sudah punya anak? Aku fikir tak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Ya gak?? ^_^
Ya Allah, yang PadaMu Jiwa-jiwa ini tergenggam. Yang mengetahui apa-apa yang kami tidak ketahui. Pemilik Ilmu-ilmu yang tertebar di bumi dan pada apa-apa yang diciptakan. Semoga kami Engkau izinkan untuk tak pernah berhenti belajar mendapatkan ilmu-ilmu, hikmah-hikmah, serta kebaikan-kebaikan yang telah Engkau tebarkan di bumi-Mu. Semoga kami dapat menjadi istri, anak, ibu, tetangga, saudara, menjadi manusia yang sholeh soleha, yang melahirkan generasi-generasi yang sholeh-sholeha yang nantinya mengisi dan menggoncangkan bumiMu dengan kalimat Laa Ilaa haillallah. Aamiin.

Lewat jari-jari ini aku menulis, membagi kisah yang tak sanggup kunikmati sendiri. Mohon kalian memaafkan atas kelancangan tulisan yang ditulis oleh seorang yang masih munafik ini jika aku banyak menuliskan hal-hal yang rupanya salah dalam pemahaman dan lainnya yang mungkin juga masih belum bisa aku sendiri lakukan. Semoga tulisan ini menjadi doa untuk ku supaya menjadi orang yang lebih baik lagi. Semoga Allah mengampuni setiap salah yang tergores sengaja atau tidak kemudian memberiku hidayahNya. Terakhir, Semoga bermanfaat dan memberi hikmah.